Info&tanya jawab

Kamis, 14 April 2022

Lewoloba, Sebuah Napak Tilas Peradaban

Oleh: Feris Uhe Koten

Hari masih pagi. Bersama ayah dan putra sulung saya Daren, kami menyusuri Jalan Usaha Tani (JUT) menuju kampung lama Lewoloba. Menjelang Paskah, orang Lewoloba yang kini mendiami wilayah sekitar teluk Oka, selalu pergi ke kampung lama. Tujuan utamanya nyekar ke pekuburan saudara dan leluhur di bekas pemukiman sebelum bencana besar banjir bandang 1979. Waktu yang dipilih biasanya setelah Minggu Palma. Kamis putih hari ini adalah puncaknya.
Selain ke pekuburan, ada kebiasaan lain yakni mengunjungi 'lango alant'. Rumah tempat generasi sebelum tahun 1979 lahir dan dibesarkan. Dan pagi tadi, kami menunaikannya, plus beberapa jejak peradaban orang Lewoloba kampung lama lainnya.

Foto: Feris Uhe Koten

Tempat pertama yang kami datangi adalah pekuburan umum (Foto 1). Di sana dua saudara kandung ayah dimakamakan. Kakek ayah saya Djana mungkin juga dimakamakan di sana. Tapi tidak ada lagi jejak kuburnya. Sebenarnya pekuburan itu nyaris hilang tak berbekas karena disapu banjir bandang besar Rabu, 27 Februari 1979. Orang-orang kemudian menyusun bongkahan batu menyerupai kubur pada tempat yang diperkirakan jadi makam keluarganya dengan menjadikan beberapa pohon yang masih tumbuh, kali mati, dan kuburan yang masih berbekas sebagai patokan. Beberapa kuburan lalu dibuat bagus dengan campuran semen. Ada juga yang dipasangi ubin.
Sebenarnya ada dua pemakaman umum di sana. Banyak yang tidak tahu. Keduanya dipisahkan oleh kali mati. Kami melewatinya sebelum nyekar ke makam keluarga tadi. Orang Lewoloba menyebutnya 'kuburan Jenteni'. Ayah sendiri tidak tahu mengapa disebut Jenteni'. Itu tempat mereka yang belum dipermandikan menjadi Katolik dikuburkan. Moyang Djana mungkin juga di sana. Tempat itu sama sekali tak terawat. Penuh semak dan pepohonan. " Ini pemakaman jiwa-jiwa yang terlupakan," kata ayah lalu meminta saya memasang sebatang lilin di sebuah bongkah batu di antara semak-semak.



Foto: Feris Uhe Koten

Tempat kedua tujuan kami adalah 'lango alant' ayah dan 'lango alant' almarhum ibu. Menuju ke sana, kami melewati bekas rumah Pastor (Foto 2). " Kami biasa bilang Pastori," terang ayah. Tidak ada lagi jejak di sana. Hanya beberapa bongkah batu besar. Mungkin bekas fondasi. Rumah tinggal pastor itu termasuk mewah di zaman itu. Dinding batu, atap seng. Rumah itu juga sekitar tahun 1928 jadi tempat Ernst Vatter, arkeolog asal Jerman dan istrinya tinggal. Beberapa bulan mereka di Lewoloba untuk penelitiannya. Hasil penelitian itu bisa dibaca dalam buku berjudul Ata Kiwan. (Judul asli: Ata Kiwan : unbekannte bergvolker im tropischen Holland /Ernst Vatter. Terbit 1932).

Foto: Feris Uhe Koten

Beberapa meter dari situ ke arah selatan ada bekas gereja Baipito (Foto 3). Dua anak tangga pada pintu masuk Gereja masih utuh. Beberapa bagian fondasinya pun masih ada. Sebelum pusat paroki untuk orang Baipito (sekarang kecamatan Ilemandiri) pindah ke Riangkemie, gereja itu jadi pusat Paroki. Ini tentu terkait dengan keberadaan Guru Roy Hurint, putra Kepala Suku berpengaruh di Lewoloba waktu itu yang dibabtis menjadi Katolik. Dia kemudian bersama Kakang Sadi Koten, seorang Lewoloba lainnya yang menjadi kepala pemerintahan setingkat Camat yang membantu Raja Larantuka, menyebarkan agama Katolik di Baipito hingga ke wilayah-wilayah sekitar kabupaten Sikka.

Foto: Feris Uhe Koten

'Lango alant' ayah saya tidak seberapa jauh dari gereja ke arah selatan. Ada gundukan tanah sekitar 24 m2 (Foto 4) dikelilingi susunan batu alam tanpa semen. Di depan rumah ada sebuah batu besar dengan pohon jembulan. Kata ayah, batu itu tempat dia bermain perosotan saat kecil bersama saudara dan teman-temannya hingga jadi tongkrongannya bersama teman mudanya bermain gambus. Halamannya cukup luas. " Sore sore jadi tempat main bola dan kalau purnama rame kami main 'Trima' (Benteng)," kenangnya. 'Lango alant' ibu saya ternyata tidak jauh (Foto 5). Hanya berselang beberapa meter saja. Petikan gambus dan alunan suara merdu ayah pasti terdengar sangat jelas dari kamar ibu. Mungkin itu mantra pemikatnya hahaha.

Foto: Feris Uhe Koten

Napak tilas kami diakhiri di 'netak sekolah'. Itu kebun milik kakek (ayah dari ibu). Dahulu kebun itu dijadikan lokasi Sekolah Dasar. Fondasinya masih nampak jelas (Foto 6). Setelah tidak terpakai, ayah memenuhi areal itu dan beberapa lokasi lain disekitarnya dengan pohon jati dan Merbau alias Ipi. Jumlahnya lumayan. "Nanti kau yang panen," kata ayah pada Putra sulungku. Diam-diam saya mengambil handphone dari saku dan mengetik sejumlah angka di kalkulator. Sebelum pulang, sambil mengelus sebatang pohon jati saya berbisik: cepat besar, biar saya yang panen. (Untuk membantu imajinasi kita tentang Peradaban Lewoloba kampung lama, saya putuskan memasukan sejumlah foto yang saya screenshot dari Asiantextile.com).

Foto: Feris Uhe Koten

Foto: Feris Uhe Koten

Foto: Feris Uhe Koten

Foto: Feris Uhe Koten

Foto: Feris Uhe Koten

Foto: Feris Uhe Koten

Foto: Feris Uhe Koten

Foto: Feris Uhe Koten

Foto: Feris Uhe Koten


Foto: Feris Uhe Koten



Foto: Feris Uhe Koten



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar