Oleh: Feris Uhe Koten
Hari masih pagi. Bersama ayah dan putra sulung saya Daren, kami menyusuri Jalan Usaha Tani (JUT) menuju kampung lama Lewoloba. Menjelang Paskah, orang Lewoloba yang kini mendiami wilayah sekitar teluk Oka, selalu pergi ke kampung lama. Tujuan utamanya nyekar ke pekuburan saudara dan leluhur di bekas pemukiman sebelum bencana besar banjir bandang 1979. Waktu yang dipilih biasanya setelah Minggu Palma. Kamis putih hari ini adalah puncaknya.
Selain ke pekuburan, ada kebiasaan lain yakni mengunjungi 'lango alant'. Rumah tempat generasi sebelum tahun 1979 lahir dan dibesarkan. Dan pagi tadi, kami menunaikannya, plus beberapa jejak peradaban orang Lewoloba kampung lama lainnya.
|
Foto: Feris Uhe Koten
|
Tempat pertama yang kami datangi adalah pekuburan umum (Foto 1). Di sana dua saudara kandung ayah dimakamakan. Kakek ayah saya Djana mungkin juga dimakamakan di sana. Tapi tidak ada lagi jejak kuburnya. Sebenarnya pekuburan itu nyaris hilang tak berbekas karena disapu banjir bandang besar Rabu, 27 Februari 1979. Orang-orang kemudian menyusun bongkahan batu menyerupai kubur pada tempat yang diperkirakan jadi makam keluarganya dengan menjadikan beberapa pohon yang masih tumbuh, kali mati, dan kuburan yang masih berbekas sebagai patokan. Beberapa kuburan lalu dibuat bagus dengan campuran semen. Ada juga yang dipasangi ubin.
Sebenarnya ada dua pemakaman umum di sana. Banyak yang tidak tahu. Keduanya dipisahkan oleh kali mati. Kami melewatinya sebelum nyekar ke makam keluarga tadi. Orang Lewoloba menyebutnya 'kuburan Jenteni'. Ayah sendiri tidak tahu mengapa disebut Jenteni'. Itu tempat mereka yang belum dipermandikan menjadi Katolik dikuburkan. Moyang Djana mungkin juga di sana. Tempat itu sama sekali tak terawat. Penuh semak dan pepohonan. " Ini pemakaman jiwa-jiwa yang terlupakan," kata ayah lalu meminta saya memasang sebatang lilin di sebuah bongkah batu di antara semak-semak.